Drama Populer: Aku Membunuhmu Perlahan, Tapi Dengan Cinta Yang Sama.
Dulu, aku adalah Jasmine. Bunga persik yang mekar di taman istana, harum dan lembut, rentan terhadap sentuhan angin. Aku jatuh cinta pada Kaisar. Kebodohan seorang gadis belia yang terpesona oleh kekuasaan dan janji-janji indah. Dia menjanjikan langit, bintang, dan seluruh dunia padaku. Aku memberinya hatiku.
Dia mengambilnya, meremukkannya, lalu melemparkannya ke tanah seperti sampah.
Aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana kekuasaan mengubah cinta menjadi kebuasan. Bagaimana dia merenggut semua yang berharga dariku: keluargaku, namaku, dan bahkan jiwaku. Aku dikurung di Istana Terlarang, bukan sebagai permaisuri, melainkan sebagai kenangan akan cinta yang dia bunuh.
Bertahun-tahun berlalu. Jasmine layu dan mati.
Yang tumbuh di atas tanah yang berlumuran darah dan air mata adalah… Lian.
Lian bukan lagi bunga persik. Aku adalah lotus yang tumbuh di air berlumpur. Akar-akarku kokoh mencengkeram tanah, menghisap kekuatan dari penderitaanku. Aku belajar bersabar. Aku belajar memainkan peran. Aku belajar bercinta dengan senyum menawan, menyembunyikan duri-duri yang tajam di balik kelopak yang lembut.
Kaisar melihatku lagi. Dia melihat penyesalan di mataku, bukan kebencian. Dia melihat wanita yang dia hancurkan, bukan monster yang dia ciptakan. Dia ingin memperbaikinya. Dia ingin aku kembali.
Dia tidak tahu, kembaliku adalah kematiannya.
Aku kembali ke sisinya, lebih anggun, lebih menawan dari sebelumnya. Aku menuangkan racun ke telinganya dengan bisikan manis. Aku menanam benih keraguan di benaknya dengan senyuman yang tulus. Aku menggunakan cinta yang dia berikan dulu, yang telah dia khianati, sebagai senjata.
Setiap hari, aku mengikis kekuasaannya, perlahan tapi pasti. Aku mendekatkan diri pada para jenderalnya, memenangkan hati para selirnya, dan membisikkan kata-kata pemberontakan di telinga para menterinya. Aku melakukan semua ini tanpa amarah. Tanpa teriakan. Hanya dengan ketenangan yang mematikan.
Aku memberinya ciuman yang memabukkan, sentuhan yang menggelitik, dan janji-janji yang palsu. Sementara itu, aku melihat bayangan kematian merayapi matanya, seperti embun beku di musim dingin.
Dia tidak pernah curiga. Dia terlalu dibutakan oleh keinginannya untuk menebus kesalahan. Dia terlalu percaya pada ketulusan yang tidak pernah aku miliki lagi.
Akhirnya, saat yang kutunggu-tunggu tiba. Dia berlutut di hadapanku, lemah dan tak berdaya. Bukan lagi seorang Kaisar, melainkan seorang pria yang hancur, memohon ampun.
Aku menatapnya dengan tatapan kosong, tanpa belas kasihan.
"Dulu, aku mencintaimu," bisikku, suaraku sedingin es. "Tapi cinta itu mati bersamamu."
Dia menghembuskan napas terakhir di pangkuanku, tangannya yang gemetar meraih jubahku. Lalu, semuanya gelap.
Kaisar telah mati. Kerajaan berduka. Dan Lian… berdiri tegak di tengah badai, tangannya berlumuran darah.
Aku telah membunuhnya perlahan, tapi dengan cinta yang sama… cinta yang terbalik.
Dan sekarang, di atas takhta yang basah oleh darah dan air mata, aku akhirnya mengerti bahwa... Mahkota sejati hanya bisa dikenakan oleh mereka yang berani menciptakan kerajaan mereka sendiri dari abu kehancuran mereka!
You Might Also Like: Kekurangan Moisturizer Lokal Untuk