Kisah Populer: Aku Mencintaimu Seperti Proyek Yang Gagal Diselamatkan
Di seberang meja, duduklah dia, Lin Wei. Dulu, Lin Wei adalah matahariku, alasan senyumku merekah setiap pagi. Sekarang, dia hanya bayangan yang patah, memantulkan kesedihan yang sama yang kurasakan.
"Sudah lama," ucapnya, suaranya serak. Seperti rekaman yang diputar terlalu sering.
Aku mengangguk. "Terlalu lama untuk sebuah pengkhianatan."
Dia menunduk. Kilau lampu kafe memantul di rambutnya yang dulu selalu ku elus. Rasanya seperti memegang duri sekarang. Setiap sentuhan, rasa sakit. Dulu, aku mencintainya bagai proyek ambisius. Proyek yang kusangka bisa kubangun selamanya. Kini, proyek itu bagai reruntuhan yang berusaha keras kuselamatkan, namun pada akhirnya harus kubiarkan hancur.
"Aku minta maaf, Li Ming."
Kata-kata itu... hampa. Tak ada getaran penyesalan tulus. Dulu, aku akan luluh hanya dengan satu senyumnya. Sekarang, permintaan maafnya terasa bagai batu dingin yang dijatuhkan ke dasar hatiku.
"Maaf tidak cukup, Lin Wei. Tidak akan pernah cukup."
Kami terdiam, hanya suara hujan dan deru mobil yang memecah keheningan. Hujan semakin deras, seolah langit pun menangisi cerita kita.
Dia mengangkat wajahnya. Mata itu... masih indah, namun terselubung kegelapan. "Kau tahu... aku tidak punya pilihan."
Pilihan? Dia selalu punya pilihan. Ia memilih untuk menusuk punggungku, untuk memilih dia. "Pilihan untuk menghancurkanku?"
Senyum tipis menyungging di bibirnya. Senyum yang tidak pernah kurindukan. "Bukan kau yang kuhancurkan, Li Ming. Tapi diriku sendiri."
Aku terkejut. Apa maksudnya? Selama ini, aku mengira dialah yang bahagia, dialah yang terbebas. Sedangkan aku, terkurung dalam penjara rasa sakit.
Dia melanjutkan, "Kau tahu... selama lima tahun ini, aku tidak pernah benar-benar bahagia. Aku hidup dalam mimpi buruk yang kubuat sendiri."
Kini, giliran aku yang menunduk. Mungkinkah selama ini aku salah? Mungkinkah dialah yang lebih terluka?
"Aku tahu kau merencanakannya, Li Ming. Aku tahu kau tidak akan membiarkanku lolos begitu saja. Aku sudah menunggu saat ini."
Aku mendongak, menatapnya dengan tatapan dingin dan kosong. "Kau benar, Lin Wei. Aku memang menunggu. Menunggu saat yang tepat untuk membalas semuanya."
Lalu, aku tersenyum. Senyum yang tidak pernah dilihatnya selama ini. Senyum yang membeku dan mematikan.
"Tahukah kau, Lin Wei... alasan perusahaanmu bangkrut?"
You Might Also Like: 0895403292432 Distributor Kosmetik