Cerpen: Aku Menggenggam Pedang Warisanmu, Tapi Bilahnya Menyebut Namamu
Kabut ungu menyelimuti Puncak Baihua, senyapnya menusuk kalbu. Di sana, aku berdiri, sendirian, menggenggam pedang pusaka milikmu, Wei Lian. Besi dingin itu terasa asing di tanganku, namun bayanganmu begitu nyata, menari-nari di antara kabut yang berputar.
Setiap helai sutra ungu yang tertiup angin terasa seperti bisikanmu, "Jangan lupakan aku, Awan Senja." Namun, bagaimana mungkin aku lupa? Wajahmu terukir di setiap kelopak bunga persik yang gugur, suaramu bergema di setiap desau bambu.
Pedang ini, 'Seruling Bulan', seharusnya menjadi simbol warisan. Namun, setiap kali kurapatkan genggamanku, bilahnya bergetar, menyuarakan namamu, Wei Lian. Bukan namaku. Seolah-olah besi itu menyimpan rahasia yang tak bisa kubaca, sebuah janji yang bukan untukku.
Malam-malam berlalu seperti lukisan yang memudar. Aku berlatih di bawah rembulan, menebas bayangan yang menari, berharap bisa menemukan jawabannya. Mengapa pedang ini, warisan yang seharusnya menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan, justru menjadi jurang pemisah yang dalam?
Mungkin cintaku padamu hanya ilusi, Wei Lian. Mungkin kau hanyalah bayangan yang diciptakan oleh kesepian Puncak Baihua. Mungkin semua ini hanyalah mimpi di dalam mimpi, cerita yang terukir di gulungan sutra yang sudah usang.
Suatu senja, di antara gemerisik daun maple yang berguguran, seorang tetua desa mendatangi tempatku. Tatapannya sayu, penuh kenangan. "Awan Senja," ujarnya dengan suara parau, "pedang itu terikat pada jiwa Wei Lian. Dulu, ada seorang wanita yang dicintainya, seorang penari pedang dengan nama yang sama denganmu, namun dia... bukan dirimu yang sekarang."
Jantungku terasa seperti ditusuk ribuan jarum. Jadi, selama ini, aku hanya replika, bayangan dari cinta yang telah lama hilang? Pedang itu, Seruling Bulan, bukan menyuarakan cintaku padamu, melainkan memanggil nama wanita yang pernah kau cintai.
Keindahan pengungkapan ini bagaikan bunga opium yang memabukkan, memancarkan keindahan yang mematikan. Aku menggenggam erat Seruling Bulan, air mata menetes membasahi bilahnya. Cinta yang kurasakan, semua pengorbanan yang kulakukan, hanyalah gema dari masa lalu, bukan untukku, melainkan untuk dirinya.
Di antara desau angin, terdengar lirih sebuah bisikan... "Awan Senja... Dia menunggumu..."
You Might Also Like: Tips Pelembab Lokal Untuk Kulit